Selasa, 12 November 2013

Kehadiran e-Money di Indonesia


Jakarta - Masyarakat pengguna ponsel umumnya antusias dengan hadirnya layanan uang digital alias e-money di Indonesia. Namun sayangnya, masih ada sejumlah kendala yang harus diselesaikan sebelum layanan ini benar-benar menjadi andalan transaksi keuangan.

Demikian salah satu kesimpulan dari survei e-money yang digelar oleh IndoTelko Forum terhadap dua ribu responden. Survei yang digelar di sejumlah kota besar di Indonesia ini mengambil sampel dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari kelas bawah hingga atas.

"Secara awareness terhadap uang digital, pengguna mengetahui produk ini meskipun definisi yang mereka pahami berbeda-beda," kata founder dari IndoTelko Forum Doni Darwin dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/11/2013).

Yang terlintas di benak mereka saat mendengar e-money, menurut hasil survei itu, 44% mengira e-money adalah layanan elektronik atau mobile money dari operator, 23% mengira e-money adalah nama produk untuk membayar dengan pulsa ponsel.

Sementara 15% lainnya, berpikiran e-money itu produk tabungan bank hasil kerja sama dengan operator, 8% juga berpikir e-money itu merupakan layanan isi ulang pulsa. Ada pula 6% responden yang mengira e-money itu produk pinjaman uang dari bank hasil kerja sama dengan operator. Lalu, 4% sisanya pernah mendengar, tapi tidak tahu apa itu e-money.

Mayoritas responden yang disurvei berusia 26-35 tahun (38%), 36-45 tahun (29%), 21-25 tahun (21%), dan sisanya 12% berusia lebih dari 45 tahun. Seluruh responden ini mengaku punya ponsel dan rekening bank.

Para responden ini mayoritas dari kelas menengah atas (54%) dan mengaku punya penghasilan lebih dari Rp 15 juta per bulan. Namun demikian, banyak juga yang penghasilannya cuma Rp 3 juta sampai Rp 5 juta (17%), Rp 5 juta sampai Rp 7,5 juta (11%), Rp 7,5 juta sampai Rp 10 juta (6%), dan sisanya Rp 2 juta sampai Rp 3 juta (6%).
Meskipun antusiasmenya tinggi, namun banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para pemangku kepentingan di bisnis e-money ini. Pasalnya, pengguna yang tertarik menggunakan layanan ini masih minim. Bahkan 54% responden mengaku masih ragu-ragu.

"Ada sejumlah alasan yang membuat sebagian besar masih pikir-pikir pakai e-money, sehingga menjadikan akuisisi untuk layanan ini lumayan berat," urai Darwin.

Suara yang terbanyak atau 23% mempertanyakan keamanan transaksi dan 17% mengaku khawatir akan lebih susah mengontrol pengeluaran uang. Sementara 14% masih ragu karena operator bukan penyedia layanan finansial, dan 14% lainnya mempertanyakan masalah penanganan jika terjadi komplain error pada layanan.

Sedangkan 9% responden juga meragukan kecepatan e-money saat bertransaksi dan 9%lainnya justru masih was-was akan biaya transaksinya. Selain itu, 6% responden juga kurang percaya akan kualitas jaringan operator, dan 6% lainnya mempertanyakan sekaligus khawatir apakah e-money ini akan rumit cara pemakaiannya.

"Melihat hasil survei ini kami sarankan semua ekosistem yang terlibat di uang digital ini berjalan beriringan dan melepas sekat-sekat pembatas agar less cash society benar-benar terwujud," katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Bank Indonesia (BI) akan segera menerbitkan regulasi baru tentang e-money setelah menguji coba branchless banking di delapan provinsi bersama lima bank dan tiga operator telekomunikasi. Pilot project yang bergulir sejak Mei dan berakhir November 2013 ini akan mendukung inklusi finansial dan less cash society.
Proyek uji coba branchless banking ini dikhususkan untuk layanan pembayaran dengan mengedepankan infrastruktur telekomunikasi yang sudah lebih dulu meraih pasar pengguna. Namun untuk penarikan dana tetap harus melalui agen perbankan yang ditunjuk dengan selektif dan ketat oleh pihak bank yang terlibat dalam proyek ini.

BI mencatat, jangkauan infrastruktur telekomunikasi saat ini telah mencapai angka 95% dan didukung 240 juta pengguna ponsel, serta dua juta agen retailer telekomunikasi. Sementara instrumen pembayaran berupa uang elektronik yang berbasis server, jumlahnya telah mencapai 12,5 juta. Sementara di sisi perbankan, BI juga memperkirakan 52% dari rumah tangga di Indonesia belum memiliki simpanan di lembaga keuangan.

Regulasi branchless banking ini akan diterbitkan BI pada akhir 2013 dan mulai diimplementasikan 2014. Dengan tersedianya payung hukum terbaru, para pemain di industri telekomunikasi dan perbankan sudah tak perlu ragu-ragu lagi untuk bersinergi. Imbasnya, peluang bisnis e-money pun kian terbuka lebar. "It's a new wave of less cash society," tandas Darwin.

:: Sumber ::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar