Hujan sepanjang hari yang mengguyur pada hari Minggu (12/1)
kemarin plus kiriman air dari hulu di Selatan membuat Jakarta banjir. Saya dan
mungkin banyak warga lainnya yang ‘terpaksa’ tidak ngantor, atau setidaknya
terlambat tiba di tempat tujuan karena banjir dan dampak kemacetan yang
ditimbulkan.
Malahan banyak saudara-saudara kita yang mengalami cobaan
lebih besar lagi karena rumahnya turut terendam. Mau tidak mau mereka harus
dievakuasi di pengungsian, dengan segala keterbatasannya.
Untungnya situasi ini tidak berkepanjangan. Air segera
surut, genangan pun berkurang. Curah hujan juga jauh menurun. Konon setelah
dilakukan rekayasa cuaca oleh tim gabungan dari BNPB, BPBD DKI Jakarta dan
BPPT.
Meski begitu, tetap saja berita soal banjir Jakarta heboh.
Apalagi ketika isu banjir dikait-kaitkan dengan ranah politik. Sulit dipisahkan
memang, terutama di tengah ramainya wacana pencapresan Bapak Joko Widodo.
Respon Jokowi sendiri menurut saya masih dalam tahap wajar.
Seolah tutup kuping dengan semua hujatan, beliau tetap blusukan memantau
langsung kondisi di lapangan.
Lucunya, para fans setia Jokowi yang justru kebakaran
jenggot. Seperti biasa, puja puji disanjungkan untuk Sang Gubernur. Di mata
mereka, Jokowi adalah sosok penyelamat Jakarta dari ancaman banjir yang lebih
besar.
Salah satu yang ramai diperbincangkan adalah gambar
komparasi banjir tahun ini dengan 2013 lalu. Tampak pada gambar tersebut
perbandingan yang sangat mencolok. Pada kolom sebelah kiri (17 Januari 2013)
terlihat banjir nyaris memenuhi 70% wilayah ibukota. Sedangkan di kolom sebelah
kanan (14 Januari 2013), areanya berkurang sangat drastis.
Pertama kali melihat gambar tersebut saya senang.
Alhamdulillah kalau memang banjir di Jakarta tahun ini sudah jauh berkurang.
Tapi selanjutnya saya pikir-pikir lagi, apa iya berkurangnya sedemikian
ekstrim? Sejujurnya saya agak sangsi dengan validitas gambar tersebut.
Keraguan saya tambah menjadi saat melihat gambar serupa yang
dipasang di akun facebook “Joko Widodo dan Basuki T Purnama untuk Jakarta
Baru”. Dengan berita yang secara substansial sama, tapi gambarnya berbeda.
Walaupun tetap terlihat perbedaan jumlah area terdampak
banjir, tapi gambar yang di sebelah kiri tidak seekstrim di gambar yang saya
lihat sebelumnya. Sampai titik ini, saya tidak tahu mana gambar yang valid.
Jika mencoba berkhusnudzon bahwa gambar pertama –tepatnya
yang menggambarkan banjir 17 Januari 2013—adalah valid dan asli tanpa rekayasa,
sebetulnya juga dapat kita temukan kenapa perbedaannya sangat ekstrim dengan
gambar sebaran banjir tahun ini. Pendekatan yang digunakan dalam membuat dua
peta tersebut sepertinya beda.
Peta sebaran banjir 2013 dibuat dengan menggunakan batas
kelurahan. Artinya, jika ada satu titik banjir saja di satu kelurahan, maka
seluruh area kelurahan tersebut akan diarsir. Sedangkan pada peta 2014 (saya
menggunakan yang versi asli dari BNPB dan BPBD), tertulis di Legenda bahwa
“Daerah terdampak banjir berdasarkan batas wilayah RW.
Sangat wajar jika kemudian area arsirannya berkurang
drastis. Sebagai ilustrasi, jika satu kelurahan memiliki 10 RW dan 2 di
antaranya terdampak banjir, pada peta tahun lalu semua area kelurahan tersebut
diarsir sedangkan pada peta terbaru hanya 2/10 saja.
Kesimpulan yang dapat saya tarik adalah ada upaya sistematis
untuk mendramatisasi keberhasilan Jokowi dalam penanganan banjir di Jakarta.
Siapa pelakunya? Kembali ke judul tulisan, apakah Jokowi bohong?
Berdasarkan penelaahan saya, jelas pelakunya bukan dari
internal birokrasi dalam hal ini BPBD atau malah Jokowi sendiri. Boleh jadi ini
dilakukan oleh simpatisan beliau yang begitu mengagungkannya, sampai
menghalalkan segala cara.
Saya justru terkesan dengan pernyataan Pak Gubernur. “Saya
kira problem ini merupakan problem yang sangat komplek, tetapi saya yakin ini
bisa ditangani, problemnya jelas tetapi ini butuh waktu, jangan sebulan dua
bulan minta rampung. Setahun minta rampung ini perlu waktu,” kata Jokowi seperti
dilansir beritajakarta.com.
Mengutip pernyataan tersebut, Jokowi sangat sadar
menyelesaikan masalah Jakarta itu tidak mudah. Oleh karenanya dibutuhkan
kesabaran semua pihak. Termasuk kesabaran dari partai politik dan kelompok lain
yang berkepentingan memanfaatkan Jokowi di ajang pemilu. Biarkan Jokowi
selesaikan pekerjaannya di Jakarta. Kelak jika memang berhasil, kita tidak akan
ragu lagi mengantarkannya ke kursi RI-1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar